PILKADA, ANTARA PERMAINAN POLITIK DAN RASIONALITAS

by 21.47 0 komentar

BAB I
 PENDAHULUAN
 1.1  Latar Belakang
        Selama 32 tahun silam, kebebasan rakyat memilih pemimpin mereka dibelenggu oleh mekanisme sistem pemilihan perwakilan. Namun reformasi telah membawa suatu perubahan dan pembelajaran berdemokrasi bagi rakyat Indonesia. Melalui sistem pemilihan langsung, rakyat dapat menentukan kepemimpinan politik atas dasar penilaian kapabilitas dan kredibilitas yang memadai. Proses pemilihan secara langsung ini pula terjadi pada pemilihan kepemimpinan kepala daerah atau yang kita kenal dengan istilah pemilihan kepala daerah (pilkada). kita sulit menampik adanya permainan politik jalan pintas yang mengeksploitasi emosi massa pemilih tradisional. Tetapi alangkah eloknya jika setiap pasangan kandidat dan tim suksesnya mampu menggunakan rasionalitas dan moralitas politik sekaligus. Kita rindu pemimpin yang mampu memenangkan alam pikiran rasional sekaligus emosi rakyat. Bagi banyak pihak, politik adalah seni untuk memungkinkan tercapainya keinginan atau kepentingan. Ya bisa karena kepentingan pribadi, kepentingan keluarga, kelompok, partai, kekuasaan, status quo atau kepentingan lainnya. Karena itu, wajar saja jika setiap pasangan kandidat dan tim suksesnya masing-masing berupaya keras dan akan melakukan apa saja untuk meraih kemenangan. Demikian rasionalitas politik yang di pahami secara umum.Seperti yang dapat kita saksikan, rasionalitas politik pada tataran empiris ditafsirkan secara sederhana oleh para kandidat dan tim sukses paling tidak dalam tiga bentuk tindakan:Pertama, perkenalan diri terhadap publik. Ada plesetan pepatah politik mengatakan, ”tak kenal maka tak pilih”. Dalam konteks itulah kampanye perkenalan diri dimaksudkan untuk menarik minat pemilih bahwa sayalah ”sang kandidat” yang terbaik, ideal dan paling pantas untuk dipilih. Untuk itu, segala latar belakang dan kompetensi sang kandidat akan diungkapkan secara all-out untuk ”menjual diri” meraih popularitas.Kedua, setiap kandidat dan tim suksesnya menawarkan program unggulan. Demi menjaga keberlangsungan pembangunan atau demi perubahan dan peningkatan kesejahteraan bersama, maka pilihlah ”saya”. Pokoknya, apa yang terbaik bagi masyarakat dan kemajuan daerah, terbaik bagi kandidat. Demikian klaim dan janji yang sering kita dapati.Ketiga, pertontonan kekuatan dan pengaruh. Selain ”jual diri dan menjanji”, arena pilkada juga menjadi ajang pertarungan yang dianggap menarik ketika terjadi adu pengaruh dan kekuatan. Instrumennya ya bisa uang, otoritas jabatan, kata-kata, kelompok, partai, klaim massa, dan sebagainya. Makanya tidak mengherankan jika terjadi serang-menyerang antar sesama lawan-tanding. Kelemahan atau keburukan lawan-tanding diungkap. Pantas atau tidak bukan persoalan, yang penting bagaimana memukul lawan sekeras-kerasnya untuk memenangkan pertarungan. Politik bukan sekedar adu kebajikan, tetapi juga adu kegarangan. Etika dan moral politik hanyalah kitab referensi bagi pembelajar politik, bukan bagi pelaku politik. Karena itu, rasionalitas politik akan bekerja menyingkirkan segala penghalang untuk mempermulus jalan menuju kemenangan. Satu-satunya rasionalitas politik bagi pelaku adalah bagaimana memenangkan pertarungan, apapun caranya.  
BAB II 
PERMASALAHAN 
       Paradigma pilkada langsung yang menempatkan rakyat sebagai “raja” dalam prosesnya telah menghadirkan analisis yang menarik tentang prospek demokratisasi di tingkat lokal. Di satu sisi diharapkan aspek-aspek positif muncul, seperti  partisipasi masyarakat, kebebasan memilih, akuntabilitas pemerintahan, dan lain-lain. Namun di sisi lain ada aspek negatif yang sangat sulit dihindarkan seperti permainan politik uang, konflik dan kekerasan politik, peran elit yang terlalu dominan untuk mempengaruhi pilihan masyarakat.Dalam hal ini, kembali rakyat menjadi titik sentral, di samping aturan dan elit lokal yang bermain. Ada kekhawatiran bahwa hanya demi kepentingan politik suatu kelompok untuk menguasai posisi-posisi kepala daerah, rakyat yang seharusnya berdaulat untuk memilih kepala daerahnya lalu menjadi korban demokrasi. Selain tidak menghargai suara rakyat, hal itu juga mengancam keselamatan masyarakat dari kampanye politik hitam. Akhirnya bukannya partisipasi politik, namun lebih ke penerapan permainan politik oleh para kandidat dan implementasi rasional yang sangat minim. Berangkat dari sini, penulis banyak menemui masalah-masalah, yang kemudian penulis merumuskan beberapa masalah sebagai batasan dalam menyampaikan ulasan. Rumusan masalah-masalah adalah sebagai berikut:
2.1     Bagaimana deskripsi Pilkada di Indonesia?
2.2     Bagaimana Sistem Permainan Politik yang dijalankan para kandidatPolitik dalam Pilkada?
2.3     Rasionalitas hubungannya dengan Keberhasilan berdemokrasi dalam Pilkada?

BAB III 
PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Pilkada Di Indonesia
       Pilkada sudah dilaksanakan sejak tahun 2005. Namun hasil pelaksanaan pilkada seringkali dinodai oleh beberapa konflik sosial-politik. Adanya tindakan-tindakan yang anarkis seperti pengrusakan beberapa fasilitas pemerintahan, demonstrasi pendukung kandidat yang kalah, hiruk pikuk kampanye, perebutan kotak suara, konflik partai politik, pilkada ulang bahkan pemerintahan daerah yang tidak stabil, dan serangkaian tindakan non konvensional lainnya turut mewarnai konflik pasca pilkada. Kenyataan ini sebagai indikasi kualitas demokrasi pada pilkada yang belum sempurna atau rendahnya kualitas demokrasi pada pilkada di negeri kita. Terjadinya konflik politik dan ketidaksepakatan hasil pilkada merujuk pada proses kegiatan pemberian suara yang tidak murni yang bisa berupa partisipasi politik yang terpaksa, intimidasi, serangan fajar, fanatisme terhadap partai politik, mobilisasi masyarakat seperti mengikuti anjuran tokoh masyarakat atau ulama untuk memilih kandidat tertentu, keterbatasan pilihan kandidat yang akuntabel, terpikat pada pesona slogan, simbol, janji politik, performance kandidat yang umumnya bersifat sesaat dan bahkan maraknya politik uang (money politics). Pemberian suara atas dasar pertimbangan-pertimbangan diatas menunjukkan bahwa rakyat memilih bukan berdasarkan preferensi (pilihan) yang murni melainkan berdasarkan mobilisasi dan manipulasi politik. Pengalaman pilkada di beberapa daerah menjadi renungan bagi kita semua untuk senantiasa memperbaiki pelaksanaan pilkada dan kualitas demokrasinya.  
3.2 Permainan Politik Dalam Proses Pilkada
      Bicara tentang substansi dan kualitas demokrasi, berarti kita berbicara tentang politik dalam konteks kekuasaaan, yang sesungguhnya adalah sebuah permainan politik. Dalam sebuah permainan, setiap orang akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi pemenang. Terlebih lagi apabila ‘hasil’ yang dicapai dalam permainan politik tersebut adalah sebuah tahta kekuasaan, yang bila mana ia berhasil mendapatkannya, maka ia pun dapat melakukan prestasi yang baik maupun sesuatu yang buruk. Prestasi yang baik akan dicapai apabila kekuasaan yang diperoleh sebesar-besarnya dipergunakan untuk kepentingan rakyat dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Tetapi kekuasaan dapat menjadi sebuah mimpi buruk bagi rakyat, jika si pemegang kekuasaan hanya menggunakan suara rakyat yang memilihnya untuk kepentingan pribadi, menumpuk modal ekonomi dan kekuasaan yang lebih besar. Have power, to get more money, and with more power, you will get more more money. Demikian halnya dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pilkada tidak lebih dari sebuah permainan politik. Tiap-tiap kandidat dan partai politik berusaha keras untuk memenangkan permainan ini, baik merancang teknik dan strategi serta trik untuk mempengaruhi opini publik agar mengarahkan pilihannya kepada kandidat yang berkompetisi. Tulisan ini bukan untuk mengajak masyarakat bersikap pesimis, tapi mengajak masyarakat untuk bersikap dan memandang segala sesuatu mengenai pilkada secara realistis. Pilkada adalah sebuah permainan politik! Kandidat manapun, partai manapun akan berusaha memenangkan suara rakyat sebesar-besarnya. Tidak ada satupun elemen politik yang mengikuti pilkada tidak berambisi atau tidak memiliki target sebagai pemenang dalam pertarungan politik yang cukup bergengsi tersebut. Di dalam ilmu politik, teori permainan politik mendapat tandingan dari teori pilihan rasional, karena pilkada adalah sebuah permainan politik, maka yang memegang peranan penting yang menjaga kualitasnya adalah rakyat sebagai pemilih rasional. Seperangkat hukum dan upaya perbaikan sistem pemilihan yang ideal tidak akan berperan banyak apabila masyarakat tetap saja tidak rasional dalam memilih. Seperti yang dikatakan Hobbes, rasionalitas merupakan sarana penting untuk menjamin tercapainya tujuan yang diinginkan. Karena itu bukan hanya kandidat, parpol dan organisasi pelaksana (birokrasi dan KPUD) melainkan juga rakyat pemilih perlu mempersiapkan diri menyambut pilkada. Rakyat pemilih hendaknya mencari informasi tentang pilkada dan kandidat yang berkompetisi sebanyak mungkin dalam upaya meningkatkan pengetahuan politik. Dengan cara demikian, rakyat pemilih diharapkan tidak terpengaruh terhadap mobilisasi dan manipulasi politik selama proses pilkada berlangsung.Gabriel J. Roberts (2005) menyarankan beberapa informasi yang perlu diketahui rakyat pemilih dalam meningkatkan pengetahuan politik mereka, yaitu:  
Pertama, kualifikasi kandidat seperti pendidikan formal, pelatihan yang pernah diikuti termasuk juga riwayat pekerjaan serta pengalaman hidup yang relevan dengan kedudukannya nanti sebagai politisi dan calon pemimpin daerah. 
Kedua, orientasi politik dan filosofi kehidupan yang diyakini kandidat yang relevan dengan kedudukannya sebagai politisi atau pemimpin daerah. Apakah ia berorientasi kepada tahta dan kekuasaan, orientasi pada kesejahteraan rakyat dan keadilan, ataukah berorientasi pada kemajuan pembangunan dan modernisasi. Ketiga, bagaimana karakter kandidat dapat menentukan kualitas kepemimpinannya. Kualitas kepemimpinan kandidat sangat penting karena dapat mendukungnya dalam menjalankan program kerja yang diusung kandidat tersebut. 
Keempat, kemampuan administratif dan responsibilitas yakni kemampuan dalam mengelola pemerintahan/organisasi serta rasa tanggung jawab yang tinggi. 
Kelima, program kerja, isu dan argumen yang diusung kandidat relevan dengan isu-isu yang berkembang di daerah. Apakah isu dan program yang diusung oleh kandidat sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan serta potensi yang ada di daerah? Selain Gabriel J. Roberts, Newman (1999) dalam bukunya The Mass Marketting Of Politics, Democracy In Age Of Manufacturer, juga memberikan masukan mengenai bagaimana seorang pemilih dapat menentukan pilihan secara rasional. Newman menyatakan bahwa setiap individu dalam perannya sebagai pemilih selalu berusaha melihat sang kandidat secara utuh. Dalam bukunya yang lain (1985) Newman juga menjelaskan individu dalam perannya sebagai pemilih dipengaruhi oleh tujuh domain kognitif, yaitu : 
Pertama, program dan kebijakan publik, seorang kandidat akan dinilai oleh pemilih melalui program dan kebijakan publik yang dijanjikan kandidat kelak jika ia terpilih. Apakah program tersebut sesuai dengan keinginan, tuntutan dan kebutuhan sebagaian besar rakyat pemilih. 
Kedua, citra sosial, masyarakat pemilih harus memperhatikan citra kandidat. Dalam pikiran pemilih seorang kandidat harus menginformasikan mengenai keberadaannya dalam posisi apa, tergolong kelompok sosial mana, dan partai apa yang mengusung kandidat tersebut. 
Ketiga, perasaan, yaitu penilaian pemilih terhadap perilaku ataupun aktivitas sang kandidat dalam memberikan pendapatnya dan pemikirannya atas sebuah peristiwa besar yang baru saja terjadi atau menjadi isu yang mutakhir.  
Keempat, karakter yang bisa dinilai masyarakat pemilih sebagai sifat-sifat personal dari seorang kandidat. Kelima, peristiwa mutakhir, (current event/affair) yang meliputi isu, kegiatan dan kebijakan sang kandidat menjelang pelaksanaan pemungutan suara.  
Keenam, peristiwa personal, yaitu saat pemilih akan memberikan penilainnya terhadap jalinan kehidupan sang kandidat. Seperti apakah kehidupan kandidat itu, apakah seorang tokoh agama, birokrat atau pengusaha? Ketujuh, yaitu isu-isu yaitu seputar aktivitas yang dilakukan dengan cermat untuk memancing keingintahuan pemilih terhadap kandidat. Apakah pemilihan isu yang diunggulkan kandidat sesuai dengan permasalahan dan potensi yang ada daerah. Pemilihan isu yang tepat akan membuat pemilih mengenal sosok kandidat sebagai figur yang benar benar bisa diandalkan dalam memecahkan persoalan publik dan pemerintahan.  
3.3 Pemilih Rasional dan Keberhasilan Demokrasi
      Informasi-informasi diatas merupakan syarat kunci agar rakyat pemilih dapat menentukan pilihan secara rasional terhadap kandidat yang berkompetisi. Kemampuan rakyat pemilih untuk mengakses informasi yang benar, update dan dapat dipercaya menunjukkan karakter demokrasi yang berkualitas dari suatu negara. Menurut Webster, karakteristik demokrasi adalah persoalan yang serius dan apa adanya, jadi demokrasi yang partisipatif menuntut beberapa tingkatan pengetahuan mengenai isu-isu yang berkembang, jadi jika warga negara akan memainkan peran yang penuh dalam proses politik, maka mereka harus membuat pengetahuan-pengetahuan itu hadir dalam diri mereka dan membiarkan untuk digunakan secara efektif. “The character of democracy is a sober and serious matter so is participatory democracy requires some level of knowledge of the issues, so if citizens are to play a full part in the political process, then they must have made available to them, the knowledges that allows for effective enggagement (Frank Webster, 1995:3)”.Paul Douglas dan Alice Mc Mahon dalam bukunya “How To be an Active Citizen”, “rasional-aktivis” menunjukkan keberhasilan sebuah demokrasi melibatkan warganegaranya dalam politik, bagaimana masyarakat menyerap pengaruh dan berpengaruh. Selanjutnya jika mereka hendak membuat keputusan khususnya keputusan penting tentang bagaimana memberikan suara mereka, mereka harus menjadikan suara itu sebagai dasar evaluasi terhadap bukti secara berhati-hati dan menimbang alternatif dengan cermat. Tetapi warganegara yang pasif, yang tidak memilih, orang kurang sekali mendapat informasi atau warganegara yang apatis menandakan kelemahan sebuah demokrasi. Pandangan tentang warganegara yang demokratis ini menekankan kegiatan, keterlibatan dan rasionalitas (dalam Sahat Simamora, 1985: 176-178). Model rasional aktivis yang menuntut informasi (pengetahuan) yang memadai dalam diri warga negara ini menurut Almond, merupakan gambaran tingkah laku politik masyarakat dalam negara demokrasi. Warganegara yang mendapat informasi yang memadai, terlibat, rasional dan aktif lebih sering terdapat di dalam negara demokrasi yang berhasil ketimbang dalam demokrasi yang gagal (dalam Sahat Simamora, 1985: 177).
 BAB IV 
KESIMPULAN DAN SARAN 
4.1 Kesimpulan
      Sejatinya Pilkada merupakan momentum untuk memilih pemimpin politik pemerintahan yang kapabel, inspirational, berkarakter, dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap perubahan, keberlangsungan pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan bersama. Namun Pilkada yang terjadi di Indonesia saat ini adalah sebagai ajang bagi para elite politik untuk mengatur strategi pemenangan demi memenuhi kepentingan-kepentingan segelintir orang tanpa menggunakan rasional dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan menjadi korban daripada permainan politik mereka. 
4.2 Saran
      Sering kali terjadi penyesalan kemudian, “kita salah pilih lagi”. Ini merupakan bukti bahwa minimnya kesadaran dan ketidaktahuan sebagian besar rakyat tentang siapa yang harus dipilih, kenapa dia harus memilih, dan bagaimana dia memilih kandidat yang tepat untuk dipilih. Sehingga pada akhirnya rakyat menjadi korban permainan politik dan rasionalitas yang non transparan daripada para kandidat. Untuk itu, sudahilah perilaku bangsa kita yang korup dengan memilih pemimpin pemerintahan yang kurang becus. Sebagai pemilih independen, kita tidak perlu kemenangan partai tertentu atau kemenangan emosional sesaat. Kita butuh ketentraman, ketertiban dan pelayanan publik yang standar. Pengangguran butuh lapangan kerja. Kita butuh peningkatan kesejahteraan bersama terutama bagi kaum miskin. 

DAFTAR PUSTAKA
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hantu-Hantu Politik Dan Matinya Sosial. Solo: Tiga Serangkai
Wikipedia. 2012 . Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_kepala_daerah_dan_wakil_kepala daerah
Dhier Dzar Ghiefari. 2011. Intrik Permainan Hukum Dan Politik Di Indonesia. Dikutip dari http://dierdzarghifari.blogdetik.com/intrik-permainan-hukum-dan-politik-indonesia/
Novie Indrawati Sagita. 2009. Pilkada Antara Permainan olitik Dan Rasionalitas. Dikutip dari http://novie-indrawati.blogspot.com/2009/03/pilkada-antara-permainan-politik-dan.html

retna rindayani

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar